Kamis, 28 Juni 2018

-untitled-

Saya merasa sudah melewatkan banyak waktu tanpa menulis.
Selain karena saya merasa tidak mumpuni, ada beberapa hal yang banyak menguras energi saya akhir akhir ini. Saya terlalu tenggelam dalam banyak keinginan tak jelas juntrungnya. Saya terjebak dalam emosi, imajinasi, dunia saya sendiri. Saya egois tak tahu diri. Kerap membandingkan diri dengan orang lain. Padahal seharusnya saya tahu bahwa saya tidak punya apa apa untuk dibandingkan, saya tidak punya apa apa disini. Seperti kata para sufi, "kita semua hanya pengunjung disini" tak membawa bekal apapun, tak (tapi berhasrat) mengambil apapun. Pengunjung, yang sebenarnya tak ingat kapan menandatangani kontrak untuk berperan sebagai pengunjung. Pengunjung yang berlomba lomba untuk mendapatkan label "baik" dan segera lupa, tujuan utama bukan menjadi baik. Baik bukan tujuan, baik hanya serangkaian proses. Begitupun buruk yang sering dicaci, dituding, dihujat, dia pun hanya proses.

Lalu apakah tujuan utamanya? Saya pun belum mafhum dengan pasti, karena cermin diri saya masih lusuh berdebu, saya pun masih berproses untuk menjadi tahu diri, sadar diri bahwa saya bukan apa apa. Saya bukan siapa siapa. Saya tak berhak atas apapun.
Raga yang saya gunakan pun sejatinya pinjaman. Tuhan amat begitu baik meminjamkan hidung ini untuk bernafas dan mencium harum masakan ibu, tangan untuk belajar merajut dan membalik halaman buku, jantung yang terus berdetak bahkan dia bisa berdebar ketika saya merasakan euforia kisah cinta atau karena ada bahaya, mata yang bisa menangisi kebodohan dan ketidaktahuan diri. dan begitu banyak pinjaman pinjaman yang lainnya

budaya saya pun mengajarkan bahwa manusia di dunia ini "mung mampir ngombe" atau hanya mampir untuk minum. Jadi, butuh waktu berapa lama untuk minum? mungkin hanya beberapa menit. Intinya kita hidup hanya sementara, sekelebatan mata.
dengan waktu yang amat terbatas untuk minum, kitapun dihadapkan dengan banyak pilihan mau meminum jenis minuman apa. dan minuman yang kita pilih pun nantinya pasti akan mempengaruhi aspek hidup kita baik hidup kita yang sekarang, maupun kehidupan berikutnya. jadi, dengan keterbatasan waktu yang sudah diberikan, beruntunglah mereka yang memilih sesuatu dengan tepat.
tapi sebenarnya pilihan pilihan tepat yang diambil oleh manusia bukanlah murni pilihan manusia itu sendiri, ada campur tangan Tuhan di setiap pilihan manusia, hanya manusia terlalu congkak dan serakah mengakui bahwa dirinya lah yang melakukan perbuatan baik (saya termasuk manusia itu). ketika kalian memilih untuk berbuat baik dan berderma, Tuhanlah yang menggerakkan hati kalian untuk berbuat baik. jika Tuhan tidak menggerakkan hati kalian mungkin perbuatan baik itu tak kan pernah ada.

kembali lagi saya ingin berbagi sedikit tentang keahlian saya menjadi bodoh dalam membandingkan diri sendiri dengan orang lain. sebenarnya keahlian membandingkan diri sendiri ini tidak mengarah kepada iri, dengki atau apapun. saya lebih banyak menyalahkan diri sendiri akan semua kebodohan yang saya perbuat. saya lebih banyak menyiksa diri saya dengan terus menerus bertanya tanya kenapa saya tidak sebaik si A, kenapa rasanya semua yang saya lakukan, semua yang ada di kepala saya selalu salah? kenapa parameter benar-salah, baik-buruk orang lain dengan saya jauh berbeda?. apalagi ketika mengetahui apa yang saya anggap baik ternyata buruk menurut orang lain, atau saya merasa merugikan orang lain. ketika saya ada dalam fase seperti itu, saya hanya ingin benar benar sendiri, menjauh dari mereka yang saya rugikan. saya malu pada mereka dan malu pada diri saya sendiri. saya menyebut fase ini fase drowning
mungkin terdengar sangat berlebihan, tapi saya yakin pasti ada orang yang memiliki pemikiran seperti saya. atau bahkan mungkin ada yang berfikir lebih rumit? sayapun tidak tahu.

terkadang saya mencari pembenaran pembenaran atas keputusan saya untuk ber-mourning ria, tenggelam dalam dunia saya dan menjauh dari banyak orang. pembenaran yang saya cari biasanya seputar karakter yang berhubungan dengan hari, tanggal, tahun lahir, letak tahi lalat, zodiak atau apapun lainnya. sering juga saya mengerjakan serangkaian tes konyol untuk mengetahui karakter saya.
mungkin terdengar konyol, saya seakan akan tidak mengenali dan mempercayai diri saya sendiri sehingga mencari pembenaran pembenaran absurd akan teori dan pemikiran saya sendiri
jujur, sebenarnya saya tidak mempercayai hal hal yang berhubungan dengan zodiak, ramalan tahi lalat atau sejenisnya. tapi entah kenapa hal tersebut tetap masuk to-do-list saya ketika saya sedang dalam fase drowning

saya jadi ingat waktu saya kecil. ketika saya tahu saya melakukan kesalahan, saya akan mengurung diri saya. bukan hanya mengurung diri di kamar. tapi saya akan masuk ke dalam lemari pakaian ibu saya. lemari gantungan itu tidak begitu luas, tapi masih bisa menampung tubuh kecil dan kurus saya. saya masih bisa mengingat dengan jelas betapa gelapnya disana, saya pun masih mengingat bau lemari dan baju ibu saya. disanalah saya, duduk menangis menyalahkan diri sendiri. kenapa saya melakukan kesalahan seperti itu? apa yang nanti saya lakukan agar tidak mengecewakan mereka yang saya sayangi? dan banyak sekali pertanyaan pertanyaan lainnya (tergantung kasus) yang saya ajukan kepada diri saya sendiri.
bisa dibilang lemari ibu saya sangat membantu saya dalam masa itu. karena saya membiarkan saya berdialog dengan diri saya sendiri. hasilnya? saya memarahi diri saya sendiri dan kembali rewind ke kesalahan yang tadi saya lakukan. kemudian (lagi) saya mengatakan "seharusnya kamu tadi..." kepada diri saya sendiri. dan sesi mengurung diri di lemari akan berakhir dengan serangkaian nasehat dari saya untuk diri saya sendiri.
saya masih ingat doa yang sering saya ucapkan sebelum saya keluar lemari "Tuhan tolong butakan mata saya, bisukan mulut saya, tulikan telinga saya dari apapun yang mendatangkan dosa"
kebiasaan ini berakhir pada saat saya menginjak pertengahan masa SMP. karena lemari ibu saya sudah tidak mampu memuat tubuh saya yang mulai membengkak.

beranjak dewasa, kebiasaan masa kecil saya tetap terbawa kemana mana. bedanya saat beranjak dewasa, saya mengenal apa yang mereka sebut dunia. saya bertemu dengan banyak orang dengan banyak karakter. bagai sisi mata uang, bertemu banyak orang tak selalu menyenangkan. terkadang itu membuat rasa bersalah saya semakin menjadi jadi. kenapa bisa begitu?
kenal banyak orang akan lebih memperluas parameter saya tentang bentuk dan definisi kata sempurna (bagi kebanyakan orang) memperluas pula parameter saya tentang baik dan buruk. saya semakin membuka mata saya, betapa banyak sekali kekurangan dalam diri saya, banyak yang perlu dikoreksi, dievaluasi, diperbaiki. membandingkan diri lagi? bodohnya saya disini.
lalu kemana saya harus berlari?

untuk kalian yang punya pemikiran yang sama dengan saya, mungkin tulisan saya dibawah ini bisa sedikit membantu kalian (walaupun saya tidak begitu yakin)
kadang ketika saya duduk di loteng jemuran rumah, Tuhan sedikit menggerakkan hati saya untuk lebih legowo menerima setiap bentuk dan aspek yang melekat secara materiil dan un-materiil. Tuhan menggariskan, melukiskan, mewarnai saya seperti ini pasti mempunyai arti, maksud, dan tujuan.
tidak ada satupun ciptaan-Nya yang diciptakan tanpa tujuan.

Kamis, 21 Juni 2018

Kamarku

Kamarku tak senyaman dahulu
Bau baunya mulai memudar meninggalkan aku dengan kenangan masa kecilku
Bantalnya tak seempuk waktu terakhir kali aku merebahkan kepalaku, mengadu, mengaduh
Jarik tipis tak mampu lagi menghalau dinginmu
Gulingnya pun sudah tak mau kupeluk, padahal rindu ini sudah terpupuk
Lemari tua tempatku menangis, berkeluh kesah sudah lapuk dimakan usia
Tembokmu bukan main dinginnya. Aku beku, kamu membatu
Aku kehilangan hangatmu, aku kehilangan kamarku, aku kehilangan rumahku.
Aku kehilangan kamu
Lantas aku berfikir
Jika sudah dewasa apa aku tak diperkenankan lagi memejamkan mata disini?
Lantas kemana rindu rindu ini akan kupulangkan?
Dimana kisah kisah ini akan kuceritakan?
Kepada siapa keluhku kuadukan?
Rindu aku pada Bapak dan segenap nasihat bijak
Kangen aku pada ibu dengan segenap doa yang menenangkanku
Kangen aku pada abang
Aku hanya ingin pulang

Rabu, 06 Juni 2018

jika aku

dalam fase lelah
cerita yang sama dan selalu diulang ulang
kisah serupa dan waktu yang dibuang buang
bosanku makin menggemuruh
marahku hilang tergantikan keruh
keruh pikirku keruh kalbuku
aku menghitung langkah satu persatu
ini mendekat atau menjauh?
aku tidak tahu

ketukan ketukan kakiku melemah
aku merasa kamu tak lagi ada
akupun perlahan menghilang saat senja
tubuhku terbaring lemah
indraku tak lagi peka
kulitku tak lagi sama
gembiraku pun sirna

jika ini yang namanya cinta
aku akan diam saja
aku bodoh tak tahu apa apa
jika aku ditakdirkan menjadi pecinta
kenapa aku belum sepenuhnya pasrah?

#soe

Jumat, 09 Februari 2018

tigabelas januari

mungkin ini akan menjadi post pertama saya yang sedikit memalukan di awal tahun  duaribudelapanbelas.
saya lelah akan banyak hal akhir akhir ini. kepala saya begitu penuh
mungkin beberapa bulan terakhir adalah titik terberat saya dalam menghadapi musuh bebuyutan saya. Hati
saya mengakui banyak hal akan segala minus dalam diri saya. manja, tak dewasa, egois, arogan, aku-sentris, cuek, tak peduli dengan sekitar, dan masih banyak lagi keburukan dalam diri saya
hingga pada akhirnya, Tuhan mengirimkan salah satu guru hidup yang ditugaskan untuk menggembleng saya yang buruk ini.
ini mungkin salah satu hal berat dalam hidup saya, ketika karakter saya, pondasi saya diobrak abrik, di dekonstruksi, dihancurkan. dan ini melelahkan
awalnya saya amat sangat menerima apapun hal baik yang guru saya ajarkan meskipun itu berat. saya tahu ini semua demi kebaikan saya. saya sadar saya tak selamanya bergantung pada orang lain. saya sadar saya harus mulai peduli pada orang sekitar dan memikirkan masa depan. saya tak selamanya muda.
saya melihat guru saya dan saya melihat rumah
hingga pada suatu sore saat dia bercerita tentang seseorang dari masa lalunya. dengan matanya yang berkaca kaca dia bercerita dan bercerita. saya bisa melihat ada cinta yang dalam di sana. saya bisa merasakan kepedihan karena tak bisa bersatu dengan perempuan itu.
detik itu pula saya sadar bahwa saya hanya mesin. saya sadar bahwa bagi dia saya hanya mesin rakitan yang dibuat untuk memenuhi program yang dia buat. karena entah kenapa ada bagian dalam diri saya yang berkata bahwa tidak ada tempat untuk saya disana. tidak ada tempat untuk saya.
segera saya ingin hengkang, menenteng sepatu dan ransel. melanjutkan petualangan saya yang lainnya. saya tak mau terus berlama lama disitu. saya tak mau jadi mesin rakitan. saya punya hak atas hidup saya sendiri.
dipegangnya tangan saya sekali lagi, ditatapnya lagi mata saya. diucapkan lagi mantra mantra yang dianggap bisa membuat saya percaya sekali lagi.
saya berhenti sejenak, saya melihat berapa banyak langkah yang sudah saya ambil, halhal apa yang sudah kami lakukan, rencanarencana apa yang sudah kami bangun.
saya menghela nafas panjang. saya terlalu egois (lagi)
ini sekali lagi bukan tentang saya, tentang dia atau tentang siapapun mereka. ini tentang generasi generasi setelah saya. ini akan menjadi salah satu pengorbanan terbesar saya
saya mungkin tidak akan pernah percaya dia lagi. tapi saya akan coba mempertahankan ini, lagi dan lagi
saya tak lagi melihat diri saya di cermin, atau dirinya, atau orang lainnya. di cermin itu hanya ada refleksi senyum senyum manis anakanak kecil, sorot mata mereka yang cerdas, melalui mata mereka saya tahu. mereka menyayangi saya.
dan saya menyayangi mereka. sudah itu saja

-soe

Kamis, 04 Januari 2018

gitar tua

Old man.
Gitar tua, usang, lapuk tak berharga (katanya)
Sebelum dilanjutkan, aku hanya ingin berkata bahwa ini bukan tentang rupa, usia, atau bahkan harga
Ini tentang pengingat tentang hal hal yang tak boleh aku lupa
Aku dibesarkan dengan beraneka kisah dan cerita (kebanyakan kisah susah, menggelitik tapi juga bahagia)
Satu kala cerita tentang bocah kecil dua tahun yang ditinggal ayahnya. Tentang ibu yang kewalahan mengasuh anak anaknya
Si bocah pun dititipkan pada sanak saudara (masih banyak detailnya)
Ada kalanya kisah tentang gadis cilik yang nasibnya tak jauh beda
Anak pejuang revolusi yang mati, ironisnya ditangan kawan sendiri
Motifnya (kata mereka sih) iri (detailnya kuceritakan nanti)
Kala kala berikutnya ada kisah penuh imajinasi
Tentang pandawa bersaudara dan langsung kunobatkan diriku sebagai sadewa
Padahal aku berharap menjadi si jago panah, sang arjuna. Yang mampu membunuh prabu karna

Lalu hubungannya apa dengan gitar tua?
Ah. Jelas kalian masih bingung jika tetap menilai dari rupa
Sini aku ceritakan lagi
Sebelum dilanjutkan, aku hanya ingin berkata bahwa ini bukan tentang rupa, usia, atau bahkan harga..... 


-soe

aku masih suka 'nginceng' kamu

Aku masih suka membicarakan dan memikirkan kamu dalam setiap keterbatasanku, ketidakyakinanku, kemunafikanku, kebodohanku, ketidaktahuanku, kesempitan pola pikirku, ke ke ke yang lainnya
Aku sering menganalisa, berhipotesa, merangkai pecahanpecahan kaca yang tak teratur bentuknya, menyusun robekan kertas yang serabutnya silang sengkarut
Aku masih sering mencarimu
Aku tahu itu membuang waktu, aku tahu itu tak membuat kunang-kunang jalanan berhenti kelaparan, aku tahu itu tak sedikitpun menyelamatkan korban pengeboman, aku tahu itu tak mengenyangkan bayi-bayi yang sedang kelaparan.
Sudah paten ini benar-benar tak berfaedah, tak bermanfaat, tak berguna. Dungunya aku tetap mencarimu, mempelajari setiap gram kerumitanmu. Masih adakah yang lebih dungu dari aku?
Ya, aku masih suka ngintip kamu. Mencatat setiap detail tak jelas. Menggumamkan tiap ketidakjelasan itu pelan dalam memori terbatasku. Dan yang ku syukuri, Tuhan sering mengingatkanku
Ya, aku masih suka mengorek informasi tentang kamu. Aku sering bertanya pada buku lapuk menguning yang kebanyakan sudah dibuang, diinjak, dirobek. Aku? Masih memungutinya satupersatu. Lamatlamat sambil menyusun parsial-parsial sering kugumamkan doa, suatu hari ini akan berguna. Setidaknya meskipun bukan untukku
Aku sering mengamatimu dari lakon Rama yang mencari Sintanya. Kresna yang amat mencintai Rukmininya. Janoko dikelilingi banyak istri dan anaknya dimana-mana. Abimanyu yang terkena serapahnya sendiri, Gatotkaca mesin pembunuh milik dewa. Bhisma yang mati oleh karmanya sendiri. Dan banyak lakon-lakon lainnya.
Meskipun aku sering lupa detail ceritanya, parsial itu tetap mambuatku tertawa. Karena ada kamu disana
Sering ku'inceng' kamu dalam banyak ceritera tentang batu batu yang saling berbicara. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku dengan segala ketidakmengertianku mencoba menelaah bahasa batu. Jangan kamu tanya alasannya, jelas karena ada kamu disana.
Sesekali kuintip kisah tentang pembunuhan. Kisah pembantaian yang coba ditutupi, dibelokkan kebenarannya.
Memang itu sedikit mengerikan. Tapi jika kamu ada disana, itu takkan jadi masalah.
Selama kamu disana semua takkan jadi masalah


-soe

kopi 'pertama'ku

Aku sudahi sajak2 buluk filosofi2 basi dari kopi. Aku sudahi mendengarkan cerita2 menyedihkan yang sepotong demi sepotong disuapkan pada mulutku. Terlalu penuh.
Bagian paling bodoh yang kulakukan adalah memecahkan dan membenci cermin2, dulu mereka kusayangi. Aku membenci hal yang kuyakini selama ini. Apa apaan lagi ini?
Candaan paling tak lucu adalah aku mempercayai kamu yang bilang ada sianida dan potassium dalam cangkir kopiku. Aku membuang kopiku, kuisi dengan susu, supaya aku yang kecil sehat selalu (katamu)
Hari ini curi2 kusesap kopi 'pertama'ku. Kudengarkan celotehan baik-buruk, contoh ini-itu, kebanyakan aku menggerutu, kebanyakan pikiran sempitku mengesalkanmu. Intinya ujung rambut hingga ujung kakiku mengganggu pandanganmu. Lantas untuk apa aku tetap disitu?
Kopi 'pertama'ku membisikiku, melemparkanku jauh pada musik2 yang aku rindu. Menekan tombol 'play' pada videoplayer tentang mereka yang menerima dan tak menghakimi setiap inci kebodohan, kesempitan pola pikir, keanehan, ketidakwajaran, ke-konvensional-anku.
Kopi 'pertama'ku habis. Seperti kisah manismu dengan siapapun itu yang secara acak kau ceritakan padaku.
Kopi 'pertama'ku habis, aku ingin menangis.
Namun sekali lagi kau benar, kopi ini mungkin mengandung sianida. Tanganku mulai bergetar, cerita2mu menjadi samar. Hari ini (mungkin) bagian itu dalam diriku akan mati. Hari ini bagian lain dari diriku bangkit lagi.
Bagian dari diriku yang (mungkin) amat sangat kau benci.


-soe

caturasrama

Aku tahu aku diambang fase brahmacarinku
Sedikit terlambat, aku masih mau berlama lama di fase ini. Aku masih ingin bebas sinau, mereguk banyak pengetahuan baru. Bertemu aneka guru, guru hidup, guru alam, semuanya.
Lekat2 kupandang gerbang grhasta. Apa gerbang ini harus kulewati begitu saja? Menyerah merelakan apa2 yang (dulu) kupertahankan mati2an
Seharusnya aku sedang menjalani fase ini, sudah 'titi wancine' aku menikah (menurut runtutan fasenya) tapi aku biasa saja. Apa aku terlena dalam fase sebelumnya.
Entahlah, mungkin iya atau mungkin aku terlalu pengecut mengakuinya, atau aku terlalu takut dengan apa yang ada dibalik gerbang itu?
Timbul dibenakku pertanyaan. Setelah grhasta lantas apa lagi? Pintu mana lagi yang harus kumasuki?
Kata orang fase wanaprastha, menjauhi kehidupan duniawi, merenung dan bertapa dalam 'wana' atau hutan. Dahiku berkerut. Hutan yang mana?
Hutan sekarang tak ada dahan. Tak ada hewan. Kehidupan duniawi seperti apa yang harus dijauhi?
Mungkin ini yang nanti harus kurenungi sambil menyesap kopi
Hutan yang teselubung dengan modernisasi. Duniawi yang terbalut dalam ego diri sendiri. Sudah2 aku bersyukur aku belum sampai di fase ini.
Gerbang terakhir dan jalan buntu adalah gerbang sanyasin. Jalan buntu sambil menunggu waktu mati. Berkelana mengembara sambil menunggu dipanggil oleh pencipta.
Ada yang menulis karya sastra, ada yang bertapa digunung dalam goa.
Sedikit banyak itulah gambaran caturasrama


-soe

setua gini

Aku bingung bagian mana yang mau ku adukan. Aku tak tau katakata mana yang patut jd kutipan
Segede gambreng gini aku masih suka banget nangis dipojokan. Nyakar nyakar tembok, gigit bantal kalau lagi kesakitan
Masih suka nyarik Ibuk. Mas. Bapak, manjanya kebangetan. Ini seriusan!
Tapi aku suka jalan sendirian, bahaya tapi mendamaikan. Aku suka diasingkan, salahsatu yang menenangkan.
Aku suka sepi, duduk nyeruput kopi, walaupun sekarang itu sudah kukurangi. Lambungku menyuruhku untuk berhenti. Tapi kadang aku rindu setengah mati
Aku kadang suka menenggelamkan diri dalam kubangan kebohongan, pembenaran pembenaran versiku, kubangun tembok kokoh yang bakal susah disingkirkan
Setua gini aku masih nyari sosok dia dimana mana. Padahal aku tahu dia sedang mengawasiku dari balik pintu, depan jendela, aku tahu setiap hari dia menungguku pulang ke rumah. Rumah yang tak lagi sama
Setua gini aku masih penasaran ada apa dibalik cakrawala. Mungkin ada naga raksasa, atau manusia awan yang saling bertengkar dan menyebabkan hujan
Setua gini aku masih doyan kisahkisah konspirasi dan fiksi, salah satu yang bikin aku ketawaketawa sendiri
Setua gini dengan segala ketidakjelasanku aku mencoba menyatukan fragmen fragmen, petunjuk ini itu yang aku yakin sedang menuntunku pada sebuah harta karun. Hahaha
Kadang hidup memang selucu itu


-soe

seketika aku lupa

Seketika aku lupa. Bejana bejana kacaku mungkin sedang duduk berdua, bertiga, berempat, berlima dan ber ber berikutnya
Seketika aku lupa. Dandelionku mungkin sudah terbang melupakan ibunya, kasar pada bapaknya, menghujat guru2nya
Seketika aku lupa. Lampionku mungkin sudah meredup, tenggelam dalam arus deras, hancur dalam benturan kasar

Seketika aku lupa
Ada banyak hal yang memang harus kulupa dan kubiarkan sebagaimana mereka adanya.


-soe

Tentang apalahapalah namanya

Saya sebenernya gak pernah pantes ngetik caption macam ini. Saya merasa terlalu dungu dan bebal bikin caption sekaliber fase hidup. Paling banter caption saya isinya curhatan alay yang ngetiknya pun udah bikin kepala saya berasap kemudian terbakar atau terbakar kemudian berasap? Entahlah, terserah yang mana urutannya.
Seseorang menggelitik saya, mengejek tentang fase menjadi orang yang mengikuti arus, orang yang melakukan segala hal karena mempertimbangkan orang lain. Kenapa gak jadi diri sendiri melakukan semuanya tanpa peduli orang lain? Melawan arus? Bahkan mengendalikan arus? (Oke terdengar sedikit avatar. Sebelum negara api menyerang...) Kenapa saya sekarang berubah jadi pengecut?
Dulu (sesekali masih gini juga) saya pernah di fase itu, melawan arus. Gak pernah peduli dengan orang lain. Baik buruk parameternya berdasarkan diri sendiri. Salah ya hakimnya diri sendiri, jaksa penuntutnya diri sendiri, terdakwanya pun diri sendiri. Temen buluk saya pun sering menjuluki saya Kardiman. Fase 'gak peduli' atau bahasamu 'melawan arus' ini gak hanya dalam hal pemikiran, tapi penampilan, attitude dsb. (Tp saya gak begitu ekstrim - menurut saya)
Sebenernya sih ini bukan tentang pengecut atau nggak. Ini tentang dari sudut mana kamu memandang sesuatu (saya ngomong kodok)
Menjadi pengecutpun gak selamanya buruk. Kamu gak pernah tahu alasan kenapa si pengecut memilih untuk menjadi pengecut. Siapa tahu dia terpaksa jadi pengecut untuk menghidupi anak anaknya yang masih balita dan satu anak lagi yang masih diperut ibuknya.
Pun kamu sebenarnya tidak tahu saya sedang melawan arus, mengikuti arus, tenggelam, atau kinthir (duduk kenter). Apa kamu tahu saya sedang pura pura mengikuti arus, mencermati pola arus, menganalisis dan menyimpulkan kemungkinan kemungkinan nanti saya bisa menguasai arus sebelah mana? Apa kamu tahu saya sedang merencanakan kudeta/makar dan kemudian menguasai arus dengan jalan berpurapura ngekor serta menjadi penjilat dulu?

Yang jelas setiap orang punya cara masing masing dalam menentukan (ttp dengan segala keterbatasannya) jalan hidup masingmasing berikutnya
dan kita gak berhak memberi nilai, memberi label, memberi fatwa (pujangga - lague makku)
Tapi jika kamu masih penasaran. Sini saya jawab. Oke bagimu sekarang saya terlihat seperti yang 'kebanyakan' dan ikut arus tapi lihat saja nanti
Hidup disini bukan melulu tentang mengikuti atau menguasai arus. Bahkan nanti malaikat dalam kubur pun gak bakal tanyain itu. Yang penting jangan lupa tujuanmu hidup disini
Manusia punya keterbatasan dalam ketidak terbatasannya. Okelah mungkin kamu bisa dengan tak terbatas mempelajari ini itu, kamu bisa melakukan dan menjadi apapun yang kamu mau tanpa peduli kamu melawan arus atau apa. Tapi ingat pada keterbatasanmu, kita semua terbatas. Hidup kita ditakar, segala yang kita miliki bakal diambil lagi. Bahkan anggota tubuhmu pun bukan milikmu. Rohmu pun hanya bentuk emanasi
Jika tanganmu, kakimu, otakmu bukan milikmu. Lantas kenapa menghabiskan jatah hidupmu yang sudah ditakar itu dengan sibuk dan angkuh mempertahankan 'cara'mu 'arus'mu kemudian melukai banyak orang karena pilihanpilihanmu?
Kamu bisa nafas, bisa makan, bisa mikir, itu bentuk rohman dan rohim Allah. Arus yang kamu anggep bener itu bukan sematamata hasil pemikiranmu. Tuhanlah yang nunjukin itu ke kamu sebagai bentuk rohman dan rohimNya. Kalau kamu menggunakan pengetahuanmu itu untuk melawan, berontak bahkan menguasai orang lain yang kamu anggap ikut arus, secara gak sadar diamdiam kamu menuhankan dirimu sendiri dengan menganggap pengetahuan, kebenaran itu ya cuman versimu, datangnya dari kamu. Padahal versimu pun belum tentu benar.
Balik lagi, sebenernya semua ada porsinya, semua ada takarannya. Ada kalanya kita ikut arus, berhenti kalau lelah, belok kalo ada batu. Ada kalanya kita keluar dari arus, mungkin lewat cabang aliran air yang lain, tapi ya usahakan tanpa melukai siapapun.

Satu lagi, ada yang pernah bilang pada saya, patokan kita hidup didunia bukanlah tentang mengejar surga (semacam gak ikhlas, mengharap surga sebagai imbalan) atau itungitungan pahala (manusia itu banyak lalainya) tapi lebih ke "Membuat Tuhan terharu". Bagaimana kita bisa membuat Tuhan terharu sebelum membuat orang lain terharu?

-soe