Kamis, 04 Januari 2018

gitar tua

Old man.
Gitar tua, usang, lapuk tak berharga (katanya)
Sebelum dilanjutkan, aku hanya ingin berkata bahwa ini bukan tentang rupa, usia, atau bahkan harga
Ini tentang pengingat tentang hal hal yang tak boleh aku lupa
Aku dibesarkan dengan beraneka kisah dan cerita (kebanyakan kisah susah, menggelitik tapi juga bahagia)
Satu kala cerita tentang bocah kecil dua tahun yang ditinggal ayahnya. Tentang ibu yang kewalahan mengasuh anak anaknya
Si bocah pun dititipkan pada sanak saudara (masih banyak detailnya)
Ada kalanya kisah tentang gadis cilik yang nasibnya tak jauh beda
Anak pejuang revolusi yang mati, ironisnya ditangan kawan sendiri
Motifnya (kata mereka sih) iri (detailnya kuceritakan nanti)
Kala kala berikutnya ada kisah penuh imajinasi
Tentang pandawa bersaudara dan langsung kunobatkan diriku sebagai sadewa
Padahal aku berharap menjadi si jago panah, sang arjuna. Yang mampu membunuh prabu karna

Lalu hubungannya apa dengan gitar tua?
Ah. Jelas kalian masih bingung jika tetap menilai dari rupa
Sini aku ceritakan lagi
Sebelum dilanjutkan, aku hanya ingin berkata bahwa ini bukan tentang rupa, usia, atau bahkan harga..... 


-soe

aku masih suka 'nginceng' kamu

Aku masih suka membicarakan dan memikirkan kamu dalam setiap keterbatasanku, ketidakyakinanku, kemunafikanku, kebodohanku, ketidaktahuanku, kesempitan pola pikirku, ke ke ke yang lainnya
Aku sering menganalisa, berhipotesa, merangkai pecahanpecahan kaca yang tak teratur bentuknya, menyusun robekan kertas yang serabutnya silang sengkarut
Aku masih sering mencarimu
Aku tahu itu membuang waktu, aku tahu itu tak membuat kunang-kunang jalanan berhenti kelaparan, aku tahu itu tak sedikitpun menyelamatkan korban pengeboman, aku tahu itu tak mengenyangkan bayi-bayi yang sedang kelaparan.
Sudah paten ini benar-benar tak berfaedah, tak bermanfaat, tak berguna. Dungunya aku tetap mencarimu, mempelajari setiap gram kerumitanmu. Masih adakah yang lebih dungu dari aku?
Ya, aku masih suka ngintip kamu. Mencatat setiap detail tak jelas. Menggumamkan tiap ketidakjelasan itu pelan dalam memori terbatasku. Dan yang ku syukuri, Tuhan sering mengingatkanku
Ya, aku masih suka mengorek informasi tentang kamu. Aku sering bertanya pada buku lapuk menguning yang kebanyakan sudah dibuang, diinjak, dirobek. Aku? Masih memungutinya satupersatu. Lamatlamat sambil menyusun parsial-parsial sering kugumamkan doa, suatu hari ini akan berguna. Setidaknya meskipun bukan untukku
Aku sering mengamatimu dari lakon Rama yang mencari Sintanya. Kresna yang amat mencintai Rukmininya. Janoko dikelilingi banyak istri dan anaknya dimana-mana. Abimanyu yang terkena serapahnya sendiri, Gatotkaca mesin pembunuh milik dewa. Bhisma yang mati oleh karmanya sendiri. Dan banyak lakon-lakon lainnya.
Meskipun aku sering lupa detail ceritanya, parsial itu tetap mambuatku tertawa. Karena ada kamu disana
Sering ku'inceng' kamu dalam banyak ceritera tentang batu batu yang saling berbicara. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku dengan segala ketidakmengertianku mencoba menelaah bahasa batu. Jangan kamu tanya alasannya, jelas karena ada kamu disana.
Sesekali kuintip kisah tentang pembunuhan. Kisah pembantaian yang coba ditutupi, dibelokkan kebenarannya.
Memang itu sedikit mengerikan. Tapi jika kamu ada disana, itu takkan jadi masalah.
Selama kamu disana semua takkan jadi masalah


-soe

kopi 'pertama'ku

Aku sudahi sajak2 buluk filosofi2 basi dari kopi. Aku sudahi mendengarkan cerita2 menyedihkan yang sepotong demi sepotong disuapkan pada mulutku. Terlalu penuh.
Bagian paling bodoh yang kulakukan adalah memecahkan dan membenci cermin2, dulu mereka kusayangi. Aku membenci hal yang kuyakini selama ini. Apa apaan lagi ini?
Candaan paling tak lucu adalah aku mempercayai kamu yang bilang ada sianida dan potassium dalam cangkir kopiku. Aku membuang kopiku, kuisi dengan susu, supaya aku yang kecil sehat selalu (katamu)
Hari ini curi2 kusesap kopi 'pertama'ku. Kudengarkan celotehan baik-buruk, contoh ini-itu, kebanyakan aku menggerutu, kebanyakan pikiran sempitku mengesalkanmu. Intinya ujung rambut hingga ujung kakiku mengganggu pandanganmu. Lantas untuk apa aku tetap disitu?
Kopi 'pertama'ku membisikiku, melemparkanku jauh pada musik2 yang aku rindu. Menekan tombol 'play' pada videoplayer tentang mereka yang menerima dan tak menghakimi setiap inci kebodohan, kesempitan pola pikir, keanehan, ketidakwajaran, ke-konvensional-anku.
Kopi 'pertama'ku habis. Seperti kisah manismu dengan siapapun itu yang secara acak kau ceritakan padaku.
Kopi 'pertama'ku habis, aku ingin menangis.
Namun sekali lagi kau benar, kopi ini mungkin mengandung sianida. Tanganku mulai bergetar, cerita2mu menjadi samar. Hari ini (mungkin) bagian itu dalam diriku akan mati. Hari ini bagian lain dari diriku bangkit lagi.
Bagian dari diriku yang (mungkin) amat sangat kau benci.


-soe

caturasrama

Aku tahu aku diambang fase brahmacarinku
Sedikit terlambat, aku masih mau berlama lama di fase ini. Aku masih ingin bebas sinau, mereguk banyak pengetahuan baru. Bertemu aneka guru, guru hidup, guru alam, semuanya.
Lekat2 kupandang gerbang grhasta. Apa gerbang ini harus kulewati begitu saja? Menyerah merelakan apa2 yang (dulu) kupertahankan mati2an
Seharusnya aku sedang menjalani fase ini, sudah 'titi wancine' aku menikah (menurut runtutan fasenya) tapi aku biasa saja. Apa aku terlena dalam fase sebelumnya.
Entahlah, mungkin iya atau mungkin aku terlalu pengecut mengakuinya, atau aku terlalu takut dengan apa yang ada dibalik gerbang itu?
Timbul dibenakku pertanyaan. Setelah grhasta lantas apa lagi? Pintu mana lagi yang harus kumasuki?
Kata orang fase wanaprastha, menjauhi kehidupan duniawi, merenung dan bertapa dalam 'wana' atau hutan. Dahiku berkerut. Hutan yang mana?
Hutan sekarang tak ada dahan. Tak ada hewan. Kehidupan duniawi seperti apa yang harus dijauhi?
Mungkin ini yang nanti harus kurenungi sambil menyesap kopi
Hutan yang teselubung dengan modernisasi. Duniawi yang terbalut dalam ego diri sendiri. Sudah2 aku bersyukur aku belum sampai di fase ini.
Gerbang terakhir dan jalan buntu adalah gerbang sanyasin. Jalan buntu sambil menunggu waktu mati. Berkelana mengembara sambil menunggu dipanggil oleh pencipta.
Ada yang menulis karya sastra, ada yang bertapa digunung dalam goa.
Sedikit banyak itulah gambaran caturasrama


-soe

setua gini

Aku bingung bagian mana yang mau ku adukan. Aku tak tau katakata mana yang patut jd kutipan
Segede gambreng gini aku masih suka banget nangis dipojokan. Nyakar nyakar tembok, gigit bantal kalau lagi kesakitan
Masih suka nyarik Ibuk. Mas. Bapak, manjanya kebangetan. Ini seriusan!
Tapi aku suka jalan sendirian, bahaya tapi mendamaikan. Aku suka diasingkan, salahsatu yang menenangkan.
Aku suka sepi, duduk nyeruput kopi, walaupun sekarang itu sudah kukurangi. Lambungku menyuruhku untuk berhenti. Tapi kadang aku rindu setengah mati
Aku kadang suka menenggelamkan diri dalam kubangan kebohongan, pembenaran pembenaran versiku, kubangun tembok kokoh yang bakal susah disingkirkan
Setua gini aku masih nyari sosok dia dimana mana. Padahal aku tahu dia sedang mengawasiku dari balik pintu, depan jendela, aku tahu setiap hari dia menungguku pulang ke rumah. Rumah yang tak lagi sama
Setua gini aku masih penasaran ada apa dibalik cakrawala. Mungkin ada naga raksasa, atau manusia awan yang saling bertengkar dan menyebabkan hujan
Setua gini aku masih doyan kisahkisah konspirasi dan fiksi, salah satu yang bikin aku ketawaketawa sendiri
Setua gini dengan segala ketidakjelasanku aku mencoba menyatukan fragmen fragmen, petunjuk ini itu yang aku yakin sedang menuntunku pada sebuah harta karun. Hahaha
Kadang hidup memang selucu itu


-soe

seketika aku lupa

Seketika aku lupa. Bejana bejana kacaku mungkin sedang duduk berdua, bertiga, berempat, berlima dan ber ber berikutnya
Seketika aku lupa. Dandelionku mungkin sudah terbang melupakan ibunya, kasar pada bapaknya, menghujat guru2nya
Seketika aku lupa. Lampionku mungkin sudah meredup, tenggelam dalam arus deras, hancur dalam benturan kasar

Seketika aku lupa
Ada banyak hal yang memang harus kulupa dan kubiarkan sebagaimana mereka adanya.


-soe

Tentang apalahapalah namanya

Saya sebenernya gak pernah pantes ngetik caption macam ini. Saya merasa terlalu dungu dan bebal bikin caption sekaliber fase hidup. Paling banter caption saya isinya curhatan alay yang ngetiknya pun udah bikin kepala saya berasap kemudian terbakar atau terbakar kemudian berasap? Entahlah, terserah yang mana urutannya.
Seseorang menggelitik saya, mengejek tentang fase menjadi orang yang mengikuti arus, orang yang melakukan segala hal karena mempertimbangkan orang lain. Kenapa gak jadi diri sendiri melakukan semuanya tanpa peduli orang lain? Melawan arus? Bahkan mengendalikan arus? (Oke terdengar sedikit avatar. Sebelum negara api menyerang...) Kenapa saya sekarang berubah jadi pengecut?
Dulu (sesekali masih gini juga) saya pernah di fase itu, melawan arus. Gak pernah peduli dengan orang lain. Baik buruk parameternya berdasarkan diri sendiri. Salah ya hakimnya diri sendiri, jaksa penuntutnya diri sendiri, terdakwanya pun diri sendiri. Temen buluk saya pun sering menjuluki saya Kardiman. Fase 'gak peduli' atau bahasamu 'melawan arus' ini gak hanya dalam hal pemikiran, tapi penampilan, attitude dsb. (Tp saya gak begitu ekstrim - menurut saya)
Sebenernya sih ini bukan tentang pengecut atau nggak. Ini tentang dari sudut mana kamu memandang sesuatu (saya ngomong kodok)
Menjadi pengecutpun gak selamanya buruk. Kamu gak pernah tahu alasan kenapa si pengecut memilih untuk menjadi pengecut. Siapa tahu dia terpaksa jadi pengecut untuk menghidupi anak anaknya yang masih balita dan satu anak lagi yang masih diperut ibuknya.
Pun kamu sebenarnya tidak tahu saya sedang melawan arus, mengikuti arus, tenggelam, atau kinthir (duduk kenter). Apa kamu tahu saya sedang pura pura mengikuti arus, mencermati pola arus, menganalisis dan menyimpulkan kemungkinan kemungkinan nanti saya bisa menguasai arus sebelah mana? Apa kamu tahu saya sedang merencanakan kudeta/makar dan kemudian menguasai arus dengan jalan berpurapura ngekor serta menjadi penjilat dulu?

Yang jelas setiap orang punya cara masing masing dalam menentukan (ttp dengan segala keterbatasannya) jalan hidup masingmasing berikutnya
dan kita gak berhak memberi nilai, memberi label, memberi fatwa (pujangga - lague makku)
Tapi jika kamu masih penasaran. Sini saya jawab. Oke bagimu sekarang saya terlihat seperti yang 'kebanyakan' dan ikut arus tapi lihat saja nanti
Hidup disini bukan melulu tentang mengikuti atau menguasai arus. Bahkan nanti malaikat dalam kubur pun gak bakal tanyain itu. Yang penting jangan lupa tujuanmu hidup disini
Manusia punya keterbatasan dalam ketidak terbatasannya. Okelah mungkin kamu bisa dengan tak terbatas mempelajari ini itu, kamu bisa melakukan dan menjadi apapun yang kamu mau tanpa peduli kamu melawan arus atau apa. Tapi ingat pada keterbatasanmu, kita semua terbatas. Hidup kita ditakar, segala yang kita miliki bakal diambil lagi. Bahkan anggota tubuhmu pun bukan milikmu. Rohmu pun hanya bentuk emanasi
Jika tanganmu, kakimu, otakmu bukan milikmu. Lantas kenapa menghabiskan jatah hidupmu yang sudah ditakar itu dengan sibuk dan angkuh mempertahankan 'cara'mu 'arus'mu kemudian melukai banyak orang karena pilihanpilihanmu?
Kamu bisa nafas, bisa makan, bisa mikir, itu bentuk rohman dan rohim Allah. Arus yang kamu anggep bener itu bukan sematamata hasil pemikiranmu. Tuhanlah yang nunjukin itu ke kamu sebagai bentuk rohman dan rohimNya. Kalau kamu menggunakan pengetahuanmu itu untuk melawan, berontak bahkan menguasai orang lain yang kamu anggap ikut arus, secara gak sadar diamdiam kamu menuhankan dirimu sendiri dengan menganggap pengetahuan, kebenaran itu ya cuman versimu, datangnya dari kamu. Padahal versimu pun belum tentu benar.
Balik lagi, sebenernya semua ada porsinya, semua ada takarannya. Ada kalanya kita ikut arus, berhenti kalau lelah, belok kalo ada batu. Ada kalanya kita keluar dari arus, mungkin lewat cabang aliran air yang lain, tapi ya usahakan tanpa melukai siapapun.

Satu lagi, ada yang pernah bilang pada saya, patokan kita hidup didunia bukanlah tentang mengejar surga (semacam gak ikhlas, mengharap surga sebagai imbalan) atau itungitungan pahala (manusia itu banyak lalainya) tapi lebih ke "Membuat Tuhan terharu". Bagaimana kita bisa membuat Tuhan terharu sebelum membuat orang lain terharu?

-soe