Jumat, 09 Februari 2018

tigabelas januari

mungkin ini akan menjadi post pertama saya yang sedikit memalukan di awal tahun  duaribudelapanbelas.
saya lelah akan banyak hal akhir akhir ini. kepala saya begitu penuh
mungkin beberapa bulan terakhir adalah titik terberat saya dalam menghadapi musuh bebuyutan saya. Hati
saya mengakui banyak hal akan segala minus dalam diri saya. manja, tak dewasa, egois, arogan, aku-sentris, cuek, tak peduli dengan sekitar, dan masih banyak lagi keburukan dalam diri saya
hingga pada akhirnya, Tuhan mengirimkan salah satu guru hidup yang ditugaskan untuk menggembleng saya yang buruk ini.
ini mungkin salah satu hal berat dalam hidup saya, ketika karakter saya, pondasi saya diobrak abrik, di dekonstruksi, dihancurkan. dan ini melelahkan
awalnya saya amat sangat menerima apapun hal baik yang guru saya ajarkan meskipun itu berat. saya tahu ini semua demi kebaikan saya. saya sadar saya tak selamanya bergantung pada orang lain. saya sadar saya harus mulai peduli pada orang sekitar dan memikirkan masa depan. saya tak selamanya muda.
saya melihat guru saya dan saya melihat rumah
hingga pada suatu sore saat dia bercerita tentang seseorang dari masa lalunya. dengan matanya yang berkaca kaca dia bercerita dan bercerita. saya bisa melihat ada cinta yang dalam di sana. saya bisa merasakan kepedihan karena tak bisa bersatu dengan perempuan itu.
detik itu pula saya sadar bahwa saya hanya mesin. saya sadar bahwa bagi dia saya hanya mesin rakitan yang dibuat untuk memenuhi program yang dia buat. karena entah kenapa ada bagian dalam diri saya yang berkata bahwa tidak ada tempat untuk saya disana. tidak ada tempat untuk saya.
segera saya ingin hengkang, menenteng sepatu dan ransel. melanjutkan petualangan saya yang lainnya. saya tak mau terus berlama lama disitu. saya tak mau jadi mesin rakitan. saya punya hak atas hidup saya sendiri.
dipegangnya tangan saya sekali lagi, ditatapnya lagi mata saya. diucapkan lagi mantra mantra yang dianggap bisa membuat saya percaya sekali lagi.
saya berhenti sejenak, saya melihat berapa banyak langkah yang sudah saya ambil, halhal apa yang sudah kami lakukan, rencanarencana apa yang sudah kami bangun.
saya menghela nafas panjang. saya terlalu egois (lagi)
ini sekali lagi bukan tentang saya, tentang dia atau tentang siapapun mereka. ini tentang generasi generasi setelah saya. ini akan menjadi salah satu pengorbanan terbesar saya
saya mungkin tidak akan pernah percaya dia lagi. tapi saya akan coba mempertahankan ini, lagi dan lagi
saya tak lagi melihat diri saya di cermin, atau dirinya, atau orang lainnya. di cermin itu hanya ada refleksi senyum senyum manis anakanak kecil, sorot mata mereka yang cerdas, melalui mata mereka saya tahu. mereka menyayangi saya.
dan saya menyayangi mereka. sudah itu saja

-soe