Sabtu, 19 Maret 2016

Aku harus pergi

Dibandingkan empat tahun yang lalu
Aku lebih sering melangkahkan kakiku keluar dari pintu
Aku lebih sering berjalan seperti orang gila
Menyusuri jalan jalan yang belum pernah kulalui
Aku lebih sering diam
Memperhatikan
Aku suka melihat wajah wajah asing
Dari yang ramah hingga yang kaku
Dari yang tertawa bahagia hingga yang berjibaku
Aku suka melihat wajah wajah lelah mendorong gerobak atau memikul dagangan
Acap kali aku tenggelam dalam keheningan
Mempertanyakan. Membayangkan
Keluarga yang mereka perjuangkan
Anak yang harus mereka sekolahkan
Kebahagiaan macam apa yang mereka inginkan
Dan aku tak pernah mendapat jawaban

Kakiku suka sekali melangkah ke tempat baru
Bukan tempat yang bising
Tapi tempat sederhana yang hening
Aku ingin melihat betapa mesranya pelukan angin tanpa suara
Pada rumah rumah yang tak berdekatan jaraknya
Anggukan ranting hijau yang seiya sekata
Seakan mengucapkan beberapa mantra magis
Yang kadang membuatku menangis

Entah apa yang aku cari dalam muka muka asing.
Sering aku bertanya pada diriku sendiri
Sekali lagi aku harus kecewa karena hanya bisa menerka
Mungkin aku ingin lari
Mungkin aku ingin pergi
Dari memori memori manis akan beberapa muka sabar
Lari dari ingatan samar
Tidak, kenangan itu bukan kenangan yang buruk
Bukan, kenangan itu bukan kenangan jahat
Sungguh percayalah padaku
Kenangan itu terlalu indah
Bak hutan tropis hijau dengan pohon rapat
Sangat rapat hingga tak memberikan ruang untukku bernafas
Sangat rapat hingga tak memberiku celah untuk menengok ada apa di balik keindahan pohon itu
Sekali lagi kukatakan
Hutan itu sangat indah, aku tak berkeberatan tinggal disana selamanya
Tapi.
Jika terlalu lama disana aku tahu perlahan aku akan kesulitan bernafas
Jantungku akan serasa ditikam
Aku akan mati perlahan

Untuk itu
Aku akan pergi

Aku tak tahu kenapa dan kemana aku akan pergi. Tapi aku lebih tidak tahu alasan kenapa aku harus tinggal.

Jumat, 18 Maret 2016

Sembilan belas maret

Sedang duduk diantara orang orang yang sibuk
Super duper sibuk
Saya bisa mendengar langkah kaki mereka beradu dengan lantai putih pucat meskipun banyak sekali kebisingan di luar.
Saya bisa mendengar decit decit roda koper yang mereka tarik dengan susah payah
Nampaknya waktu sudah mengejar mereka hingga mereka tak sempat saling tukar pandang
Apalagi saling senyum menyapa.
Ah saya salah lagi.
Memang dewasa ini sudah tak jaman saling tersenyum pada orang asing.
Untuk apa? Kan kita tidak kenal. Kan kita tak sedang membutuhkan. Dan beberapa kan kan kan yang lainnya.

Kembali ke tempat ini
Entah kapan terakhir kali saya kesini
Tempat ini sudah sangat jauh berbeda
Lebih bersih. Putih. Pucat. Dingin
Tak ada lagi loket loket abu abu yang cat dindingnya sudah mengelupas
Sudut ruang yang lembab dan berjamur digantikan oleh beberapa colokan listrik yang berlabelkan 'gratis'
Surga bagi pecandu gadget busuk yang melabeli diri dengan kata 'smartphone' tapi ironisnya malah membuat pemakainya stupid dan gak peka
Oke. Maafkan saya karena saya mulai berkata buruk.

Masih disini
Meskipun semuanya berubah
Saya dengan masih bisa melihat dengan jelas
Kerumunan orang yang saling berdesakan
Bapak bapak merokok dan bersenda gurau diujung sana
Anak anak kecil yang berlarian gembira
Ibu ibu tak saling kenal namun mampu berbicara tentang cuaca
Tukang becak yang berebut penumpang
Pengap. Kumuh. namun hidup.

Masih disini

Delapan belas. Tiga. Dua ribu enam belas
Pukul berapa entah saya lupa
Yang jelas langit sudah berangsur angsur gelap
Matahari sudah terlelap dibalik mega mega memerah
Tapi saya masih berpelukan erat dengan kesibukan dan kelelahan.
Ditemani seorang kawan atau lebih tepatnya partner
Kami berdua tertawa dalam keresahan
Gelak kami beradu dalam kebingungan
Kami duduk di trotoar depan melihat hal hal yang tak ingin kami lihat
Makan tanpa tahu pasti apa yang kami makan
Entah itu rasa pedas, asin, ataupun manis
Lidah kami tak mampu mengenali rasa makanan.
Kebas oleh kebingungan
Namun kami masih bisa mentertawakan.
Hal hal yang sebenarnya membuat kami kesakitan.
Yah, kami masih disini
Masih berdiri tegak
Saat sinar surya mulai merangkak
Kami masih disini
Saat satu persatu makhluk egois pergi
Kami masih disini
Yah kami masih disini.

Rabu, 09 Maret 2016

Sepuluh maret

Saya makin tak mengerti tentang manusia dan kemanusiaan
Dua kata itu makin jauh
Dua kata itu makin tak jelas saat dipadukan
Saya bukan seorang religius fanatik
Saya bukan seorang misionaris yang berkhutbah akan esensi manusia
Saya bukan pula seorang sosialis yang berteriak akan kepedulian
Bukan. Kapasitas saya tidak sampai disitu.
Saya hanya manusia biasa
Sama seperti kalian yang membaca tulisan ini
Saya hanya manusia biasa yang muak akan apa yang saya lihat
Saya hanya manusia biasa yang saat ini mengernyitkan dahi melihat situasi dan kondisi
Beberapa manusia sudah lupa
Begitupun saya
Saya tak munafik mengakui banyaknya kelalaian saya akan esensi saya di dunia ini
Tapi ada beberapa hal yang mengganggu saya
Beberapa hal yang mengganggu pikiran manusia bodoh dan lalai macam saya ini
adalah apa yang terjadi pada manusia yang lupa akan kemanusiaan
Akan manusia yang bunuh membunuh demi ambisi
Akan manusia yang saling sikut demi urusan perut
Ah betapa kurang bersyukurnya mereka
Apa mereka sudah lupa?
Tuhan memberi porsi masing masing pada semua ciptaannya
Porsi itu bernama takdir
Kalau mereka mengaduk aduk milik orang lain, bukankah mereka mengubah porsi Tuhan?
Sesuci apa mereka? Kok berani mengubah ubah milik orang lain
Sebenar apa mereka? Kok mengusik hak orang lain
Ah entahlah. Sekali lagi saya bukan seorang misionaris. Apalagi sosialis.
Im just me