Kamis, 18 April 2019

marriage -


Here we go, another blank pages.

Sejujurnya sudah setahun mungkin lebih saya tidak bisa menulis dengan baik, atau mungkin selama eksistensi hidup saya, saya hanya berpura pura dan meyakinkan diri saya bahwa saya pandai menulis padahal tidak. Sudahlah, saya tidak mau memusingkan apakah saya bisa menulis atau tidak.

Pagi ini saya hanya ingin sendiri, saya hanya ingin mengumpulkan sisa sisa kewarasan saya. Mungkin saya sedang tidak cukup waras? Atau sedang sepenuhnya tidak waras?. Begitu banyak pertanyaan yang berbutar putar dalam kepala saya. Banyak sekali potongan adegan adegan, baik yang secara fisik memang terjadi maupun hanya rekaan saya. Saya cukup pintar membuat rekaan adegan berdasarkan fragmen fragmen kecil yang mungkin tak sengaja saya temukan. Mungkin bapak saya dulu seharusnya menyekolahkan saya di dunia peran, saya mungkin akan menjadi sutradara brengsek yang dibenci banyak aktor dan kru film. Sudahlah, saya potong saja perkataan saya yang ini.

Fokus saya sedikit ambyar, beberapa bulan yang lalu saya disibukkan dengan yang namanya pernikahan. Sumpah itu salah satu hal paling ribet yang pernah terjadi dalam hidup saya. Begitu banyak hal yang terjadi sampai saya sedikit bingung untuk mengurai dan menceritakan kepada kalian. Tapi yang jelas, jika suatu hari nanti ada teman kalian yang sok bijak mengajak kalian duduk di taman, atau mengajak kalian nongkrong di cafe, atau mengajak kalian pesta piyama dan mengatakan bahwa menikah itu asik, menikah itu indah, menikah itu menyenangkan. Saya minta tolong segera tampar teman kalian itu, karena nyatanya nikah itu gak se-fairy-tale yang mereka bacotkan.

Mungkin sudah banyak tulisan membahas topik ini, baik dari segi ekonomi, sosial, psikologi, politik dan berbagai macam lainnya. Tapi kali ini saya coba membeberkan dari segi yang paling kekanak kanakan, segi yang paling kecil, segi yang paling remeh, segi yang paling gak penting. Lantas ngapain saya capek capek membeberkan hal yang gak penting? Ya karena saya mumpuninya cuman untuk bahas hal hal yang kecil. Sisi yang ingin saya bahas adalah tentang cinta.

Nikah itu gak melulu tentang cinta. Kata mereka yang sudah dewasa sih gitu, katanya nikah itu gak cukup modal cinta, palingan nanti setahun atau dua tahun sudah luntur cintanya, katanya sih gitu. Dan saya sadar saya belum cukup dewasa untuk berani mengakui bahwa salah satu dari sekian banyak landasan saya memilih mau untuk dinikahi suami saya sekarang bukanlah cinta. Yakalik saya gak munafik munafik banget kalo saya ingin dinikahi laki laki yang saya cinta dan mencintai saya. Tapi masalahnya saya gak punya cukup superpower atau kacamata khusus yang bisa menembus isi hati sesorang.

Mungkin yang road to menikah akan sampai pada sebuah titik dimana muncul benih benih keraguan. Muncul banyak fragmen pertanyaan. Benarkah dia yang terbaik? Benarkah dia yang ditakdirkan untuk saya? Apakah hanya saya yang dicintainya? Apakah keputusan ini benar?. Jujur saya dulu tiga kali sholat istikhoro untuk memantapkan hati. Honestly meskipun hasil sholat menunjukkan hal yang positif,saya tidak bisa menyangkal bahwa masih timbul sedikit keraguan dari dalam diri saya. Ketika suami saya menanyakan apa yang saya ragukan? Apa yang membuat saya bimbang? Jawaban yang saya berikan pada dia adalah “saya ragu pada diri saya sendiri” dan saat itu saya sedang berbohong, saya benar benar pengecut yang sedang berbohong. Saya tidak cukup berani untuk mengakui bahwa saya ragu terhadapnya juga.

Sejujurnya saya tidak tahu apakah kebanyakan perempuan punya sudut pandang yang sama dengan saya atau tidak. Intinya begini, saya tidak mau sepenuhnya mencintai seseorang jika dia tidak sepenuhnya mencintai saya. Mungkin keraguan saya muncul karena cinta yang saya punya begitu besar untuk dia, dan saya tidak mau mempertaruhkan itu semua jika saya tidak mendapatkan hal yang sepadan. Yang pada kemudian hari, pandangan saya perlahan tergeser. Saya terlalu realistis, saya terlalu perhitungan dan jika kalian menikah, hitung hitungan hanya akan menimbulkan masalah. Jika ada hitung hitungan namanya bukan cinta.

Dear ladies, ketika kalian sudah memutuskan untuk menikah, kalian pun harus siap memutuskan hubungan dengan keegiosan kalian. Pastikan kalian sudah tidak sakit hati saat tiba tiba menemukan surat cinta yang mungkin masih disimpan suami kalian. Mungkin disitu terdapat banyak sekali kata kata bak pujangga yang diucapkan oleh laki laki kalian pada perempuan perempuan mereka yang tidak pernah diucapkan pada kalian, istrinya. Pastikan kalian tidak menangis di pojokan saat mengetahui fakta bahwa mungkin suami kalian masih susah melupakan kenangan kenangan dengan perempuan perempuan sebelum kalian. Namanya juga kenangan ladies, tentu suatu hari nanti akan diputar secara random entah saat hujan turun, saat melewati resto, bioskop atau tempat tempat kencannya dia dulu. Juga pastikan hati kalian benar benar kuat untuk menerima kenyataan bahwa kalian bukan yang pertama. Karena ada beberapa perempuan yang kurang bisa menerima bahwa dia bukanlah yang pertama, bukanlah satu satunya. Mungkin perempuan perempuan itu parno akan pasangannya yang mungkin tidak bisa move on.

Menikah memang ga-se-fairy-tale yang dibacotkan. Jika kalian tidak bisa mengendalikan perasaan kalian sendiri, mungkin menikah adalah mimpi buruk, benar benar mimpi buruk yang gak bisa kalian hindari. Dalam bebrapa kasus kalian harus pintar pintar menyembuyikan affection kalian yang begitu besarnya itu. Kalian harus menyembuyikan affection kalian yang berpotensi memicu pertengkaran. Affection berlebih yang menuju ke arah jealousy, negative thinking dan hal kurang baik lainnya. Jika affection berlebihan itu muncul, kendalikan dengan baik.

Ladies, kalian tidak bisa memaksa laki laki untuk merasakan, melakukan, menunjukkan hal hal yang sama dengan kalian. Laki dan perempuan itu berbeda soal cinta. Tidak tidak, maksud saya setiap orang memiliki cara yang unik ketika berhadapan dengan cinta. Pun pasangan kalian dan kalian tidak harus sama. Jika kalian ingin memiliki cara yang sama, bicarakan dengan pasangan. Buang keegoisan kalian ladies. Laki laki tidak se-dukun itu.

Jadi intinya gini, ini saya juga berbicara untuk diri saya sendiri. Saya tidak peduli, entah laki laki saya masih menyimpan rapih semua kisah cintanya dia atau tidak, entah dia masih menyimpan serpihan bukti kebersamaan dia dengan sang mantan yang bisa sewaktu waktu dia ratapi atau tidak, entah perasaannya pada saya tidak melebihi perempuan perempuan sebelum saya atau tidak, entah dia mencintai saya atau tidak. Saya benar benar tidak peduli, persetan dengan itu semua. Yang jelas apapun itu, saya mencintai dia sebagai imam saya, saya mencintai dia karena dia jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan, saya mencintai dia karena anak anak saya nanti.

Pun kalian harus persetan dengan semua bedebah pengganggu jiwa dan mental kalian. Kalian harus taklukkan mereka semua. Kalian harus percaya bahwa laki laki kalian tidak akan melakukan hal hal yang melukai kalian. Laki laki tidak akan melukai perempuannya baik fisik maupun mental. Salah satu elemen menikah yaitu percaya. Dan saya percaya pada dia. J