Here we go, another blank pages.
Sejujurnya sudah setahun mungkin lebih
saya tidak bisa menulis dengan baik, atau mungkin selama eksistensi hidup saya,
saya hanya berpura pura dan meyakinkan diri saya bahwa saya pandai menulis
padahal tidak. Sudahlah, saya tidak mau memusingkan apakah saya bisa menulis
atau tidak.
Pagi ini saya hanya ingin sendiri, saya hanya ingin mengumpulkan sisa sisa kewarasan saya. Mungkin saya sedang tidak cukup waras? Atau sedang sepenuhnya tidak waras?. Begitu banyak pertanyaan yang berbutar putar dalam kepala saya. Banyak sekali potongan adegan adegan, baik yang secara fisik memang terjadi maupun hanya rekaan saya. Saya cukup pintar membuat rekaan adegan berdasarkan fragmen fragmen kecil yang mungkin tak sengaja saya temukan. Mungkin bapak saya dulu seharusnya menyekolahkan saya di dunia peran, saya mungkin akan menjadi sutradara brengsek yang dibenci banyak aktor dan kru film. Sudahlah, saya potong saja perkataan saya yang ini.
Fokus saya sedikit ambyar, beberapa bulan
yang lalu saya disibukkan dengan yang namanya pernikahan. Sumpah itu salah satu
hal paling ribet yang pernah terjadi dalam hidup saya. Begitu banyak hal yang
terjadi sampai saya sedikit bingung untuk mengurai dan menceritakan kepada
kalian. Tapi yang jelas, jika suatu hari nanti ada teman kalian yang sok bijak
mengajak kalian duduk di taman, atau mengajak kalian nongkrong di cafe, atau
mengajak kalian pesta piyama dan mengatakan bahwa menikah itu asik, menikah
itu indah, menikah itu menyenangkan. Saya minta tolong segera tampar teman
kalian itu, karena nyatanya nikah itu gak se-fairy-tale yang mereka bacotkan.
Mungkin sudah banyak tulisan membahas
topik ini, baik dari segi ekonomi, sosial, psikologi, politik dan berbagai
macam lainnya. Tapi kali ini saya coba membeberkan dari segi yang paling
kekanak kanakan, segi yang paling kecil, segi yang paling remeh, segi yang
paling gak penting. Lantas ngapain saya capek capek membeberkan hal yang gak
penting? Ya karena saya mumpuninya cuman untuk bahas hal hal yang kecil. Sisi
yang ingin saya bahas adalah tentang cinta.
Nikah itu gak melulu tentang cinta. Kata
mereka yang sudah dewasa sih gitu, katanya nikah itu gak cukup modal cinta,
palingan nanti setahun atau dua tahun sudah luntur cintanya, katanya sih gitu. Dan
saya sadar saya belum cukup dewasa untuk berani mengakui bahwa salah satu dari
sekian banyak landasan saya memilih mau untuk dinikahi suami saya sekarang
bukanlah cinta. Yakalik saya gak munafik munafik banget kalo saya ingin
dinikahi laki laki yang saya cinta dan mencintai saya. Tapi masalahnya saya gak
punya cukup superpower atau kacamata khusus yang bisa menembus isi hati sesorang.
Mungkin yang road to menikah akan sampai
pada sebuah titik dimana muncul benih benih keraguan. Muncul banyak fragmen
pertanyaan. Benarkah dia yang terbaik? Benarkah dia yang ditakdirkan untuk
saya? Apakah hanya saya yang dicintainya? Apakah keputusan ini benar?. Jujur
saya dulu tiga kali sholat istikhoro untuk memantapkan hati. Honestly
meskipun hasil sholat menunjukkan hal yang positif,saya tidak bisa menyangkal
bahwa masih timbul sedikit keraguan dari dalam diri saya. Ketika suami saya
menanyakan apa yang saya ragukan? Apa yang membuat saya bimbang? Jawaban yang
saya berikan pada dia adalah “saya ragu pada diri saya sendiri” dan saat itu saya
sedang berbohong, saya benar benar pengecut yang sedang berbohong. Saya tidak
cukup berani untuk mengakui bahwa saya ragu terhadapnya juga.
Sejujurnya
saya tidak tahu apakah kebanyakan perempuan punya sudut pandang yang sama
dengan saya atau tidak. Intinya begini, saya tidak mau sepenuhnya mencintai
seseorang jika dia tidak sepenuhnya mencintai saya. Mungkin keraguan saya
muncul karena cinta yang saya punya begitu besar untuk dia, dan saya tidak mau
mempertaruhkan itu semua jika saya tidak mendapatkan hal yang sepadan. Yang pada
kemudian hari, pandangan saya perlahan tergeser. Saya terlalu realistis, saya
terlalu perhitungan dan jika kalian menikah, hitung hitungan hanya akan
menimbulkan masalah. Jika ada hitung hitungan namanya bukan cinta.
Dear
ladies, ketika kalian sudah memutuskan untuk menikah, kalian pun harus siap
memutuskan hubungan dengan keegiosan kalian. Pastikan kalian sudah tidak sakit
hati saat tiba tiba menemukan surat cinta yang mungkin masih disimpan suami
kalian. Mungkin disitu terdapat banyak sekali kata kata bak pujangga yang
diucapkan oleh laki laki kalian pada perempuan perempuan mereka yang tidak
pernah diucapkan pada kalian, istrinya. Pastikan kalian tidak menangis di
pojokan saat mengetahui fakta bahwa mungkin suami kalian masih susah melupakan
kenangan kenangan dengan perempuan perempuan sebelum kalian. Namanya juga
kenangan ladies, tentu suatu hari nanti akan diputar secara random entah saat
hujan turun, saat melewati resto, bioskop atau tempat tempat kencannya dia
dulu. Juga pastikan hati kalian benar benar kuat untuk menerima kenyataan bahwa
kalian bukan yang pertama. Karena ada beberapa perempuan yang kurang bisa
menerima bahwa dia bukanlah yang pertama, bukanlah satu satunya. Mungkin
perempuan perempuan itu parno akan pasangannya yang mungkin tidak bisa move on.
Menikah
memang ga-se-fairy-tale yang dibacotkan. Jika kalian tidak bisa mengendalikan
perasaan kalian sendiri, mungkin menikah adalah mimpi buruk, benar benar mimpi
buruk yang gak bisa kalian hindari. Dalam bebrapa kasus kalian harus pintar
pintar menyembuyikan affection kalian yang begitu besarnya itu. Kalian harus
menyembuyikan affection kalian yang berpotensi memicu pertengkaran. Affection berlebih
yang menuju ke arah jealousy, negative thinking dan hal kurang baik lainnya. Jika
affection berlebihan itu muncul, kendalikan dengan baik.
Ladies,
kalian tidak bisa memaksa laki laki untuk merasakan, melakukan, menunjukkan hal
hal yang sama dengan kalian. Laki dan perempuan itu berbeda soal cinta. Tidak tidak,
maksud saya setiap orang memiliki cara yang unik ketika berhadapan dengan
cinta. Pun pasangan kalian dan kalian tidak harus sama. Jika kalian ingin
memiliki cara yang sama, bicarakan dengan pasangan. Buang keegoisan kalian
ladies. Laki laki tidak se-dukun itu.
Jadi
intinya gini, ini saya juga berbicara untuk diri saya sendiri. Saya tidak
peduli, entah laki laki saya masih menyimpan rapih semua kisah cintanya dia
atau tidak, entah dia masih menyimpan serpihan bukti kebersamaan dia dengan
sang mantan yang bisa sewaktu waktu dia ratapi atau tidak, entah perasaannya
pada saya tidak melebihi perempuan perempuan sebelum saya atau tidak, entah dia
mencintai saya atau tidak. Saya benar benar tidak peduli, persetan dengan itu
semua. Yang jelas apapun itu, saya mencintai dia sebagai imam saya, saya
mencintai dia karena dia jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan, saya
mencintai dia karena anak anak saya nanti.
Pun kalian
harus persetan dengan semua bedebah pengganggu jiwa dan mental kalian. Kalian harus
taklukkan mereka semua. Kalian harus percaya bahwa laki laki kalian tidak akan
melakukan hal hal yang melukai kalian. Laki laki tidak akan melukai
perempuannya baik fisik maupun mental. Salah satu elemen menikah yaitu percaya.
Dan saya percaya pada dia. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar