Kamis, 28 Juni 2018

-untitled-

Saya merasa sudah melewatkan banyak waktu tanpa menulis.
Selain karena saya merasa tidak mumpuni, ada beberapa hal yang banyak menguras energi saya akhir akhir ini. Saya terlalu tenggelam dalam banyak keinginan tak jelas juntrungnya. Saya terjebak dalam emosi, imajinasi, dunia saya sendiri. Saya egois tak tahu diri. Kerap membandingkan diri dengan orang lain. Padahal seharusnya saya tahu bahwa saya tidak punya apa apa untuk dibandingkan, saya tidak punya apa apa disini. Seperti kata para sufi, "kita semua hanya pengunjung disini" tak membawa bekal apapun, tak (tapi berhasrat) mengambil apapun. Pengunjung, yang sebenarnya tak ingat kapan menandatangani kontrak untuk berperan sebagai pengunjung. Pengunjung yang berlomba lomba untuk mendapatkan label "baik" dan segera lupa, tujuan utama bukan menjadi baik. Baik bukan tujuan, baik hanya serangkaian proses. Begitupun buruk yang sering dicaci, dituding, dihujat, dia pun hanya proses.

Lalu apakah tujuan utamanya? Saya pun belum mafhum dengan pasti, karena cermin diri saya masih lusuh berdebu, saya pun masih berproses untuk menjadi tahu diri, sadar diri bahwa saya bukan apa apa. Saya bukan siapa siapa. Saya tak berhak atas apapun.
Raga yang saya gunakan pun sejatinya pinjaman. Tuhan amat begitu baik meminjamkan hidung ini untuk bernafas dan mencium harum masakan ibu, tangan untuk belajar merajut dan membalik halaman buku, jantung yang terus berdetak bahkan dia bisa berdebar ketika saya merasakan euforia kisah cinta atau karena ada bahaya, mata yang bisa menangisi kebodohan dan ketidaktahuan diri. dan begitu banyak pinjaman pinjaman yang lainnya

budaya saya pun mengajarkan bahwa manusia di dunia ini "mung mampir ngombe" atau hanya mampir untuk minum. Jadi, butuh waktu berapa lama untuk minum? mungkin hanya beberapa menit. Intinya kita hidup hanya sementara, sekelebatan mata.
dengan waktu yang amat terbatas untuk minum, kitapun dihadapkan dengan banyak pilihan mau meminum jenis minuman apa. dan minuman yang kita pilih pun nantinya pasti akan mempengaruhi aspek hidup kita baik hidup kita yang sekarang, maupun kehidupan berikutnya. jadi, dengan keterbatasan waktu yang sudah diberikan, beruntunglah mereka yang memilih sesuatu dengan tepat.
tapi sebenarnya pilihan pilihan tepat yang diambil oleh manusia bukanlah murni pilihan manusia itu sendiri, ada campur tangan Tuhan di setiap pilihan manusia, hanya manusia terlalu congkak dan serakah mengakui bahwa dirinya lah yang melakukan perbuatan baik (saya termasuk manusia itu). ketika kalian memilih untuk berbuat baik dan berderma, Tuhanlah yang menggerakkan hati kalian untuk berbuat baik. jika Tuhan tidak menggerakkan hati kalian mungkin perbuatan baik itu tak kan pernah ada.

kembali lagi saya ingin berbagi sedikit tentang keahlian saya menjadi bodoh dalam membandingkan diri sendiri dengan orang lain. sebenarnya keahlian membandingkan diri sendiri ini tidak mengarah kepada iri, dengki atau apapun. saya lebih banyak menyalahkan diri sendiri akan semua kebodohan yang saya perbuat. saya lebih banyak menyiksa diri saya dengan terus menerus bertanya tanya kenapa saya tidak sebaik si A, kenapa rasanya semua yang saya lakukan, semua yang ada di kepala saya selalu salah? kenapa parameter benar-salah, baik-buruk orang lain dengan saya jauh berbeda?. apalagi ketika mengetahui apa yang saya anggap baik ternyata buruk menurut orang lain, atau saya merasa merugikan orang lain. ketika saya ada dalam fase seperti itu, saya hanya ingin benar benar sendiri, menjauh dari mereka yang saya rugikan. saya malu pada mereka dan malu pada diri saya sendiri. saya menyebut fase ini fase drowning
mungkin terdengar sangat berlebihan, tapi saya yakin pasti ada orang yang memiliki pemikiran seperti saya. atau bahkan mungkin ada yang berfikir lebih rumit? sayapun tidak tahu.

terkadang saya mencari pembenaran pembenaran atas keputusan saya untuk ber-mourning ria, tenggelam dalam dunia saya dan menjauh dari banyak orang. pembenaran yang saya cari biasanya seputar karakter yang berhubungan dengan hari, tanggal, tahun lahir, letak tahi lalat, zodiak atau apapun lainnya. sering juga saya mengerjakan serangkaian tes konyol untuk mengetahui karakter saya.
mungkin terdengar konyol, saya seakan akan tidak mengenali dan mempercayai diri saya sendiri sehingga mencari pembenaran pembenaran absurd akan teori dan pemikiran saya sendiri
jujur, sebenarnya saya tidak mempercayai hal hal yang berhubungan dengan zodiak, ramalan tahi lalat atau sejenisnya. tapi entah kenapa hal tersebut tetap masuk to-do-list saya ketika saya sedang dalam fase drowning

saya jadi ingat waktu saya kecil. ketika saya tahu saya melakukan kesalahan, saya akan mengurung diri saya. bukan hanya mengurung diri di kamar. tapi saya akan masuk ke dalam lemari pakaian ibu saya. lemari gantungan itu tidak begitu luas, tapi masih bisa menampung tubuh kecil dan kurus saya. saya masih bisa mengingat dengan jelas betapa gelapnya disana, saya pun masih mengingat bau lemari dan baju ibu saya. disanalah saya, duduk menangis menyalahkan diri sendiri. kenapa saya melakukan kesalahan seperti itu? apa yang nanti saya lakukan agar tidak mengecewakan mereka yang saya sayangi? dan banyak sekali pertanyaan pertanyaan lainnya (tergantung kasus) yang saya ajukan kepada diri saya sendiri.
bisa dibilang lemari ibu saya sangat membantu saya dalam masa itu. karena saya membiarkan saya berdialog dengan diri saya sendiri. hasilnya? saya memarahi diri saya sendiri dan kembali rewind ke kesalahan yang tadi saya lakukan. kemudian (lagi) saya mengatakan "seharusnya kamu tadi..." kepada diri saya sendiri. dan sesi mengurung diri di lemari akan berakhir dengan serangkaian nasehat dari saya untuk diri saya sendiri.
saya masih ingat doa yang sering saya ucapkan sebelum saya keluar lemari "Tuhan tolong butakan mata saya, bisukan mulut saya, tulikan telinga saya dari apapun yang mendatangkan dosa"
kebiasaan ini berakhir pada saat saya menginjak pertengahan masa SMP. karena lemari ibu saya sudah tidak mampu memuat tubuh saya yang mulai membengkak.

beranjak dewasa, kebiasaan masa kecil saya tetap terbawa kemana mana. bedanya saat beranjak dewasa, saya mengenal apa yang mereka sebut dunia. saya bertemu dengan banyak orang dengan banyak karakter. bagai sisi mata uang, bertemu banyak orang tak selalu menyenangkan. terkadang itu membuat rasa bersalah saya semakin menjadi jadi. kenapa bisa begitu?
kenal banyak orang akan lebih memperluas parameter saya tentang bentuk dan definisi kata sempurna (bagi kebanyakan orang) memperluas pula parameter saya tentang baik dan buruk. saya semakin membuka mata saya, betapa banyak sekali kekurangan dalam diri saya, banyak yang perlu dikoreksi, dievaluasi, diperbaiki. membandingkan diri lagi? bodohnya saya disini.
lalu kemana saya harus berlari?

untuk kalian yang punya pemikiran yang sama dengan saya, mungkin tulisan saya dibawah ini bisa sedikit membantu kalian (walaupun saya tidak begitu yakin)
kadang ketika saya duduk di loteng jemuran rumah, Tuhan sedikit menggerakkan hati saya untuk lebih legowo menerima setiap bentuk dan aspek yang melekat secara materiil dan un-materiil. Tuhan menggariskan, melukiskan, mewarnai saya seperti ini pasti mempunyai arti, maksud, dan tujuan.
tidak ada satupun ciptaan-Nya yang diciptakan tanpa tujuan.

Kamis, 21 Juni 2018

Kamarku

Kamarku tak senyaman dahulu
Bau baunya mulai memudar meninggalkan aku dengan kenangan masa kecilku
Bantalnya tak seempuk waktu terakhir kali aku merebahkan kepalaku, mengadu, mengaduh
Jarik tipis tak mampu lagi menghalau dinginmu
Gulingnya pun sudah tak mau kupeluk, padahal rindu ini sudah terpupuk
Lemari tua tempatku menangis, berkeluh kesah sudah lapuk dimakan usia
Tembokmu bukan main dinginnya. Aku beku, kamu membatu
Aku kehilangan hangatmu, aku kehilangan kamarku, aku kehilangan rumahku.
Aku kehilangan kamu
Lantas aku berfikir
Jika sudah dewasa apa aku tak diperkenankan lagi memejamkan mata disini?
Lantas kemana rindu rindu ini akan kupulangkan?
Dimana kisah kisah ini akan kuceritakan?
Kepada siapa keluhku kuadukan?
Rindu aku pada Bapak dan segenap nasihat bijak
Kangen aku pada ibu dengan segenap doa yang menenangkanku
Kangen aku pada abang
Aku hanya ingin pulang

Rabu, 06 Juni 2018

jika aku

dalam fase lelah
cerita yang sama dan selalu diulang ulang
kisah serupa dan waktu yang dibuang buang
bosanku makin menggemuruh
marahku hilang tergantikan keruh
keruh pikirku keruh kalbuku
aku menghitung langkah satu persatu
ini mendekat atau menjauh?
aku tidak tahu

ketukan ketukan kakiku melemah
aku merasa kamu tak lagi ada
akupun perlahan menghilang saat senja
tubuhku terbaring lemah
indraku tak lagi peka
kulitku tak lagi sama
gembiraku pun sirna

jika ini yang namanya cinta
aku akan diam saja
aku bodoh tak tahu apa apa
jika aku ditakdirkan menjadi pecinta
kenapa aku belum sepenuhnya pasrah?

#soe