Kamis, 04 Januari 2018

Tentang apalahapalah namanya

Saya sebenernya gak pernah pantes ngetik caption macam ini. Saya merasa terlalu dungu dan bebal bikin caption sekaliber fase hidup. Paling banter caption saya isinya curhatan alay yang ngetiknya pun udah bikin kepala saya berasap kemudian terbakar atau terbakar kemudian berasap? Entahlah, terserah yang mana urutannya.
Seseorang menggelitik saya, mengejek tentang fase menjadi orang yang mengikuti arus, orang yang melakukan segala hal karena mempertimbangkan orang lain. Kenapa gak jadi diri sendiri melakukan semuanya tanpa peduli orang lain? Melawan arus? Bahkan mengendalikan arus? (Oke terdengar sedikit avatar. Sebelum negara api menyerang...) Kenapa saya sekarang berubah jadi pengecut?
Dulu (sesekali masih gini juga) saya pernah di fase itu, melawan arus. Gak pernah peduli dengan orang lain. Baik buruk parameternya berdasarkan diri sendiri. Salah ya hakimnya diri sendiri, jaksa penuntutnya diri sendiri, terdakwanya pun diri sendiri. Temen buluk saya pun sering menjuluki saya Kardiman. Fase 'gak peduli' atau bahasamu 'melawan arus' ini gak hanya dalam hal pemikiran, tapi penampilan, attitude dsb. (Tp saya gak begitu ekstrim - menurut saya)
Sebenernya sih ini bukan tentang pengecut atau nggak. Ini tentang dari sudut mana kamu memandang sesuatu (saya ngomong kodok)
Menjadi pengecutpun gak selamanya buruk. Kamu gak pernah tahu alasan kenapa si pengecut memilih untuk menjadi pengecut. Siapa tahu dia terpaksa jadi pengecut untuk menghidupi anak anaknya yang masih balita dan satu anak lagi yang masih diperut ibuknya.
Pun kamu sebenarnya tidak tahu saya sedang melawan arus, mengikuti arus, tenggelam, atau kinthir (duduk kenter). Apa kamu tahu saya sedang pura pura mengikuti arus, mencermati pola arus, menganalisis dan menyimpulkan kemungkinan kemungkinan nanti saya bisa menguasai arus sebelah mana? Apa kamu tahu saya sedang merencanakan kudeta/makar dan kemudian menguasai arus dengan jalan berpurapura ngekor serta menjadi penjilat dulu?

Yang jelas setiap orang punya cara masing masing dalam menentukan (ttp dengan segala keterbatasannya) jalan hidup masingmasing berikutnya
dan kita gak berhak memberi nilai, memberi label, memberi fatwa (pujangga - lague makku)
Tapi jika kamu masih penasaran. Sini saya jawab. Oke bagimu sekarang saya terlihat seperti yang 'kebanyakan' dan ikut arus tapi lihat saja nanti
Hidup disini bukan melulu tentang mengikuti atau menguasai arus. Bahkan nanti malaikat dalam kubur pun gak bakal tanyain itu. Yang penting jangan lupa tujuanmu hidup disini
Manusia punya keterbatasan dalam ketidak terbatasannya. Okelah mungkin kamu bisa dengan tak terbatas mempelajari ini itu, kamu bisa melakukan dan menjadi apapun yang kamu mau tanpa peduli kamu melawan arus atau apa. Tapi ingat pada keterbatasanmu, kita semua terbatas. Hidup kita ditakar, segala yang kita miliki bakal diambil lagi. Bahkan anggota tubuhmu pun bukan milikmu. Rohmu pun hanya bentuk emanasi
Jika tanganmu, kakimu, otakmu bukan milikmu. Lantas kenapa menghabiskan jatah hidupmu yang sudah ditakar itu dengan sibuk dan angkuh mempertahankan 'cara'mu 'arus'mu kemudian melukai banyak orang karena pilihanpilihanmu?
Kamu bisa nafas, bisa makan, bisa mikir, itu bentuk rohman dan rohim Allah. Arus yang kamu anggep bener itu bukan sematamata hasil pemikiranmu. Tuhanlah yang nunjukin itu ke kamu sebagai bentuk rohman dan rohimNya. Kalau kamu menggunakan pengetahuanmu itu untuk melawan, berontak bahkan menguasai orang lain yang kamu anggap ikut arus, secara gak sadar diamdiam kamu menuhankan dirimu sendiri dengan menganggap pengetahuan, kebenaran itu ya cuman versimu, datangnya dari kamu. Padahal versimu pun belum tentu benar.
Balik lagi, sebenernya semua ada porsinya, semua ada takarannya. Ada kalanya kita ikut arus, berhenti kalau lelah, belok kalo ada batu. Ada kalanya kita keluar dari arus, mungkin lewat cabang aliran air yang lain, tapi ya usahakan tanpa melukai siapapun.

Satu lagi, ada yang pernah bilang pada saya, patokan kita hidup didunia bukanlah tentang mengejar surga (semacam gak ikhlas, mengharap surga sebagai imbalan) atau itungitungan pahala (manusia itu banyak lalainya) tapi lebih ke "Membuat Tuhan terharu". Bagaimana kita bisa membuat Tuhan terharu sebelum membuat orang lain terharu?

-soe  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar