Saya
sebenernya gak pernah pantes ngetik caption macam ini. Saya merasa
terlalu dungu dan bebal bikin caption sekaliber fase hidup. Paling
banter caption saya isinya curhatan alay yang ngetiknya pun udah bikin
kepala saya berasap kemudian terbakar atau terbakar kemudian berasap?
Entahlah, terserah yang mana urutannya.
Seseorang
menggelitik saya, mengejek tentang fase menjadi orang yang mengikuti
arus, orang yang melakukan segala hal karena mempertimbangkan orang
lain. Kenapa gak jadi diri sendiri melakukan semuanya tanpa peduli orang
lain? Melawan arus? Bahkan mengendalikan arus? (Oke terdengar sedikit
avatar. Sebelum negara api menyerang...) Kenapa saya sekarang berubah
jadi pengecut?
Dulu (sesekali masih gini juga) saya
pernah di fase itu, melawan arus. Gak pernah peduli dengan orang lain.
Baik buruk parameternya berdasarkan diri sendiri. Salah ya hakimnya diri
sendiri, jaksa penuntutnya diri sendiri, terdakwanya pun diri sendiri.
Temen buluk saya pun sering menjuluki saya Kardiman. Fase 'gak peduli'
atau bahasamu 'melawan arus' ini gak hanya dalam hal pemikiran, tapi
penampilan, attitude dsb. (Tp saya gak begitu ekstrim - menurut saya)
Sebenernya sih ini bukan tentang pengecut atau nggak. Ini tentang dari sudut mana kamu memandang sesuatu (saya ngomong kodok)
Menjadi
pengecutpun gak selamanya buruk. Kamu gak pernah tahu alasan kenapa si
pengecut memilih untuk menjadi pengecut. Siapa tahu dia terpaksa jadi
pengecut untuk menghidupi anak anaknya yang masih balita dan satu anak
lagi yang masih diperut ibuknya.
Pun kamu sebenarnya
tidak tahu saya sedang melawan arus, mengikuti arus, tenggelam, atau
kinthir (duduk kenter). Apa kamu tahu saya sedang pura pura mengikuti
arus, mencermati pola arus, menganalisis dan menyimpulkan kemungkinan
kemungkinan nanti saya bisa menguasai arus sebelah mana? Apa kamu tahu
saya sedang merencanakan kudeta/makar dan kemudian menguasai arus dengan
jalan berpurapura ngekor serta menjadi penjilat dulu?
Yang jelas setiap orang punya cara masing masing dalam
menentukan (ttp dengan segala keterbatasannya) jalan hidup masingmasing
berikutnya
dan kita gak berhak memberi nilai, memberi label, memberi fatwa (pujangga - lague makku)
Tapi
jika kamu masih penasaran. Sini saya jawab. Oke bagimu sekarang saya
terlihat seperti yang 'kebanyakan' dan ikut arus tapi lihat saja nanti
Hidup
disini bukan melulu tentang mengikuti atau menguasai arus. Bahkan nanti
malaikat dalam kubur pun gak bakal tanyain itu. Yang penting jangan
lupa tujuanmu hidup disini
Manusia punya keterbatasan
dalam ketidak terbatasannya. Okelah mungkin kamu bisa dengan tak
terbatas mempelajari ini itu, kamu bisa melakukan dan menjadi apapun
yang kamu mau tanpa peduli kamu melawan arus atau apa. Tapi ingat pada
keterbatasanmu, kita semua terbatas. Hidup kita ditakar, segala yang
kita miliki bakal diambil lagi. Bahkan anggota tubuhmu pun bukan
milikmu. Rohmu pun hanya bentuk emanasi
Jika tanganmu,
kakimu, otakmu bukan milikmu. Lantas kenapa menghabiskan jatah hidupmu
yang sudah ditakar itu dengan sibuk dan angkuh mempertahankan 'cara'mu
'arus'mu kemudian melukai banyak orang karena pilihanpilihanmu?
Kamu
bisa nafas, bisa makan, bisa mikir, itu bentuk rohman dan rohim Allah.
Arus yang kamu anggep bener itu bukan sematamata hasil pemikiranmu.
Tuhanlah yang nunjukin itu ke kamu sebagai bentuk rohman dan rohimNya.
Kalau kamu menggunakan pengetahuanmu itu untuk melawan, berontak bahkan
menguasai orang lain yang kamu anggap ikut arus, secara gak sadar
diamdiam kamu menuhankan dirimu sendiri dengan menganggap pengetahuan,
kebenaran itu ya cuman versimu, datangnya dari kamu. Padahal versimu pun
belum tentu benar.
Balik lagi, sebenernya semua ada
porsinya, semua ada takarannya. Ada kalanya kita ikut arus, berhenti
kalau lelah, belok kalo ada batu. Ada kalanya kita keluar dari arus,
mungkin lewat cabang aliran air yang lain, tapi ya usahakan tanpa
melukai siapapun.
Satu lagi, ada yang pernah bilang pada saya, patokan kita
hidup didunia bukanlah tentang mengejar surga (semacam gak ikhlas,
mengharap surga sebagai imbalan) atau itungitungan pahala (manusia itu
banyak lalainya) tapi lebih ke "Membuat Tuhan terharu". Bagaimana kita
bisa membuat Tuhan terharu sebelum membuat orang lain terharu?
-soe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar